
Keterangan Gambar : Peserta LK III BADKO HMI Papua Andi Wahyuni
Papua Barat Daya, Sapakaltim.com- Dunia hari ini tidak sedang bergerak menuju perdamaian, melainkan menuju kompetisi terbuka atas sumber daya alam strategis. Di balik narasi kerja sama internasional dan pembangunan berkelanjutan, negara-negara besar sesungguhnya tengah beradu kuasa untuk mengamankan energi, mineral kritis, dan kendali atas rantai pasok global. Geopolitik sumber daya alam telah menjadi wajah nyata dari ekonomi politik global kontemporer.
Konflik Rusia Ukraina menunjukkan dengan jelas bahwa energi dapat dijadikan senjata politik. Sementara itu, rivalitas Amerika Serikat dan Tiongkok menegaskan bahwa penguasaan atas nikel, litium, dan rare earth elements akan menentukan masa depan industri dan teknologi dunia. Dalam konteks ini, sumber daya alam tidak lagi sekadar komoditas ekonomi, melainkan instrumen dominasi dan kontrol geopolitik.
Indonesia berada di persimpangan sejarah yang menentukan. Di satu sisi, negeri ini dikenal sebagai pemilik cadangan nikel terbesar dunia, produsen tembaga dan emas utama, serta memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar. Namun di sisi lain, Indonesia masih terjebak dalam struktur ekonomi ekstraktif yang membuatnya rentan terhadap tekanan pasar global dan kepentingan asing.
Papua dan Papua Barat Daya menjadi potret paling telanjang dari paradoks tersebut. Kekayaan alam yang melimpah tidak otomatis berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyatnya. Alih-alih menjadi subjek pembangunan, masyarakat lokal kerap hanya menjadi penonton bahkan korban dari eksploitasi sumber daya yang telah berlangsung puluhan tahun. Ketimpangan sosial, konflik agraria, serta kerusakan ekologis menjadi harga mahal dari kebijakan yang lebih mengutamakan stabilitas investasi ketimbang keadilan sosial.
Dalam kerangka ekonomi politik global, kondisi ini bukanlah kebetulan. Sistem kapitalisme global bekerja melalui relasi timpang antara pusat dan pinggiran. Negara berkembang, termasuk Indonesia, sering diposisikan sebagai pemasok bahan mentah murah, sementara nilai tambah, teknologi, dan keuntungan terbesar dinikmati oleh negara maju. Ketika negara gagal memperkuat posisi tawarnya, maka kedaulatan ekonomi hanya menjadi jargon politik tanpa makna substantif.
Kebijakan hilirisasi sumber daya alam kerap dipromosikan sebagai solusi. Namun pertanyaan mendasarnya adalah: hilirisasi untuk siapa dan dengan orientasi apa? Jika hilirisasi hanya memperpanjang dominasi modal besar, mengabaikan keberlanjutan lingkungan, serta meminggirkan masyarakat adat dan lokal, maka ia tidak lebih dari bentuk baru kolonialisme ekonomi dengan wajah domestik.
Masalah semakin kompleks ketika negara kerap hadir bukan sebagai pelindung rakyat, melainkan sebagai fasilitator kepentingan modal. Regulasi dipermudah, ruang hidup masyarakat dipersempit, sementara suara-suara kritis sering dilabeli sebagai penghambat pembangunan. Dalam konteks ini, geopolitik sumber daya alam tidak hanya berhadapan dengan kekuatan global, tetapi juga dengan krisis keberpihakan di tingkat nasional.
Padahal, Indonesia sejatinya memiliki peluang besar untuk keluar dari jebakan tersebut. Posisi strategis di kawasan Indo-Pasifik, kekayaan sumber daya alam, serta pasar domestik yang besar merupakan modal geopolitik yang kuat. Namun tanpa keberanian politik untuk menegakkan kedaulatan sumber daya, Indonesia akan terus menjadi arena pertarungan kepentingan global, bukan pemain yang menentukan arah permainan.
Bagi kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), membaca geopolitik sumber daya alam harus melampaui romantisme pembangunan dan jargon pertumbuhan ekonomi. Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI menuntut keberpihakan pada keadilan sosial serta pembebasan manusia dari segala bentuk penindasan, termasuk penindasan struktural yang lahir dari ketimpangan ekonomi global.
Kader intelektual Muslim tidak boleh bersikap netral di tengah ketidakadilan. Sikap kritis adalah bentuk keberpihakan moral. Ketika sumber daya alam dikelola tanpa etika dan prinsip keberlanjutan, yang dirusak bukan hanya lingkungan, tetapi juga masa depan generasi bangsa. Islam mengajarkan bahwa kekuasaan atas bumi adalah amanah, bukan hak absolut yang boleh dieksploitasi tanpa batas.
Ke depan, Indonesia harus membangun politik sumber daya alam yang berdaulat, berkeadilan, dan berpihak pada rakyat. Negara harus berani menegosiasikan ulang relasi ekonomi global, memperkuat industri nasional, serta memastikan masyarakat lokal menjadi aktor utama dalam pengelolaan kekayaan alamnya sendiri.
Jika tidak, kekayaan sumber daya alam hanya akan memperpanjang ketergantungan dan ketimpangan. Dan sejarah akan mencatat bahwa kita gagal belajar dari penjajahan lama karena terjebak dalam penjajahan gaya baru.
Yakin Usaha Sampai
Penulis: Andi Wahyuni









LEAVE A REPLY