
Keterangan Gambar : Dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 (Untag 45) Samarinda, Rezky Robiatul Aisyiah Ismail.
Samarinda, sapakaltim.com- Keputusan Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, yang memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Tom Lembong, menuai perdebatan tajam di tengah masyarakat. Menanggapi hal tersebut, Dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 (Untag 45) Samarinda, Rezky Robiatul Aisyiah Ismail, memberikan penjelasan hukum mengenai dasar konstitusional serta perbedaan antara kedua kebijakan tersebut.
Menurut Rezky, amnesti dan abolisi merupakan hak prerogatif Presiden yang diatur dalam Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Namun, pelaksanaannya tetap membutuhkan pertimbangan dari DPR RI, sehingga tidak bersifat mutlak. “Ini menunjukkan bahwa mekanisme check and balance dalam sistem ketatanegaraan tetap berjalan,” ujarnya dalam wawancara pada Jumat, 1 Agustus 2025.
Ia menambahkan, secara historis kewenangan ini sudah ada sejak masa UUD Sementara 1950, di mana Presiden dapat memberikan amnesti dan abolisi atas nasihat Mahkamah Agung. Namun setelah amandemen UUD 1945, pertimbangan dari lembaga legislatif menjadi syarat utama dalam penerbitan keputusan presiden terkait penghapusan pidana.
Dalam penjelasannya, Rezky menegaskan pentingnya publik memahami perbedaan yuridis antara amnesti dan abolisi. “Amnesti adalah bentuk pengampunan pidana yang bisa diberikan kepada individu atau kelompok, biasanya dalam kasus politik, bahkan tanpa permohonan dari pihak bersangkutan,” katanya. Sementara itu, abolisi lebih mengarah pada penghentian proses hukum, yang bisa dilakukan meskipun perkara telah memasuki tahap penyidikan, penuntutan, atau bahkan setelah vonis dijatuhkan.
Terkait kasus Hasto Kristiyanto, pemberian amnesti oleh Presiden mengindikasikan bahwa unsur pidana dianggap terbukti, namun negara memilih memberikan pengampunan atas dasar pertimbangan politik dan hukum tertentu. “Ini tidak jarang terjadi dalam sistem demokrasi, apalagi jika tidak berkaitan dengan ancaman terhadap keamanan nasional,” ujar Rezky.
Sedangkan dalam kasus Tom Lembong, abolisi diberikan karena dalam proses hukum tidak ditemukan mens rea atau niat jahat, dan yang bersangkutan juga tidak memperoleh keuntungan pribadi. “Artinya, unsur pidana dalam kasus tersebut dianggap tidak terpenuhi secara utuh, sehingga penghentian proses hukum dapat dibenarkan,” jelasnya.
Tom Lembong dikenal sebagai mantan Menteri Perdagangan dan Kepala BKPM, sementara Hasto Kristiyanto adalah Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan. Keduanya merupakan tokoh publik yang selama ini terlibat dalam dinamika pemerintahan dan politik nasional. Keputusan Presiden terhadap keduanya pun dinilai sarat muatan politik dan mempertimbangkan stabilitas nasional.
Rezky menegaskan bahwa meskipun abolisi dan amnesti merupakan kewenangan yang sah menurut konstitusi, transparansi dalam proses dan landasan hukum yang kuat tetap penting agar publik tidak kehilangan kepercayaan terhadap sistem hukum. “Masyarakat perlu melihat ini secara objektif dan tidak terburu-buru menilai, apalagi jika belum memahami dasar yuridisnya secara menyeluruh,” tutupnya.
(Tim Redaksi)
LEAVE A REPLY