
Keterangan Gambar : Ketua DPD GMPRI Kaltim, Yohanes Gunardi Karmon.
Kutai Kartanegara, sapakaltim.com- Aktivitas pertambangan batu bara milik PT Singlurus Pratama di Desa Argosari, Kalimantan Timur, memicu keresahan warga setempat. Lokasi tambang yang berada kurang dari 50 meter dari permukiman dinilai membahayakan keselamatan dan kenyamanan masyarakat.
Warga melaporkan gangguan serius akibat operasional tambang, termasuk kebisingan alat berat, getaran akibat peledakan, serta debu pekat yang mencemari lingkungan. Sejumlah rumah dilaporkan mengalami keretakan, sementara kebun-kebun warga rusak parah.
“Kalau boleh jujur, kami di sini sangat terganggu. Suara alat berat itu bising tanpa henti siang dan malam,” ujar Wawan, salah satu warga Desa Argosari, Kamis (16/10/2025).
Selain kerusakan fisik, warga juga mengeluhkan hilangnya sumber penghidupan dan belum adanya ganti rugi yang layak atas lahan mereka. PT Singlurus Pratama disebut-sebut pernah menjanjikan pembebasan lahan sejak awal 2024, namun hingga kini belum ada kejelasan.
Menanggapi hal tersebut, Dewan Pimpinan Daerah Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Republik Indonesia (DPD GMPRI) Kalimantan Timur menyatakan sikap tegas. Ketua DPD GMPRI Kaltim, Yohanes Gunardi Karmon, mendesak pemerintah daerah dan penegak hukum segera turun tangan.
“Kami meminta Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, Dinas ESDM, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Polda Kaltim mengusut dugaan pelanggaran oleh PT Singlurus Pratama,” kata Yohanes dalam keterangan pers, Sabtu (18/10/2025).
DPD GMPRI juga menyoroti dugaan pelanggaran dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) oleh pihak perusahaan. Menurut Yohanes, hal itu menunjukkan ketidakpatuhan terhadap prinsip pembangunan berkelanjutan dan tanggung jawab lingkungan.
GMPRI Kaltim juga mendesak perusahaan untuk memberikan ganti rugi kepada warga yang terdampak, termasuk Ustaz Ahmad, yang lahannya seluas 3.478 meter persegi beserta tanaman di atasnya telah hancur akibat aktivitas tambang. Lahan tersebut memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) dan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Kutai Kartanegara.
“Ini bukan sekadar persoalan hukum, tetapi juga soal kemanusiaan. Tanah, rumah, dan kebun warga hancur tanpa kejelasan. Kami tidak akan tinggal diam,” tegas Yohanes.
Sebagai tindak lanjut, DPD GMPRI Kaltim akan melaporkan kasus ini ke pengurus pusat GMPRI untuk diteruskan ke Kementerian ESDM di tingkat nasional.
GMPRI menegaskan bahwa kegiatan pertambangan yang merusak lingkungan dan mengabaikan keselamatan warga tidak dapat ditoleransi.
“Negara harus hadir untuk memastikan keadilan ekologis dan perlindungan hak-hak masyarakat lokal atas tanah dan ruang hidup mereka,” pungkas Yohanes.
(Tim Redaksi)
LEAVE A REPLY